Senin, 29 Agustus 2011

CERPEN

KESEMPURNAAN DIBALIK KECACATAN
Ketika cahaya mentari dengan riangnya menampakkan sinarnya, pepohonan dengan lincahnya berdansa bersama sejuknya hembusan angin dan burung-burung bernyanyi dengan siulannya yang merdu. Namun, seorang anak laki-laki  dengan raut muka masamnya yang tanpa senyum menghiasi wajahnya dan menitikkan air mata dari bola matanya.
“Raka, janganlah kamu menangis terus menerus.” ucap seorang wanita setengah baya. Tanpa berkata apa-apa, anak lelaki tersebut pergi ke kamarnya meninggalkan wanita setengah baya tersebut yang ternyata adalah ibunya.
“Tok, tok, tok.” Suara pintu kayu berbunyi pertanda ada tamu.
“Iya, tunggu sebentar.” Wanita setengah baya tersebut menghampiri pintu untuk membukanya. Setelah pintu dibukanya, terlihat seorang pemuda dengan kemeja rapi yang melekat pada tubuhnya.
“Bu Tina?.” Sapa pemuda tersebut. Bu Tina masih terdiam di tempatnya berdiri. Dia masih mengingat-ingat kembali siapa pemuda yang tengah berada dihadapannya.
“Ibu? Ibu masih ingat dengan saya?.”
“Subhanallah…, Firman?.”
“Alhamdulillah ibu masih ingat dengan saya.”
“Benar ini Firman?.”
“Benar Bu. Saya Firman.” Kemudian mereka berdua saling berpelukan untuk membalas rasa rindu mereka setelah sekian lama tidak bertemu. Bu Tina merasa haru hingga  meneteskan airmatanya.
“Mari silahkan masuk Nak Firman!.”
“Terima kasih Bu.”
            Dalam ruang tamu yang tidak terlalu besar namun nyaman, Bu Tina dan Firman berbincang-bincang. Di atas meja telah disiapkan secangkir teh dengan sedikit makanan kecil untuk menjamu Firman.
“Sekarang kamu sudah besar dan sehat yah Nak?.”
“Alhamdulillah Bu. Saya semakin tua dan dewasa sekarang. Ibu sendiri sehat-sehat saja kan?.”
“Ya beginilah keadaan Ibu. Hidup seperti ini saja sudah sangat bersyukur.” Raka mengintip ke ruang tamu melalui celah pintu kamarnya yang berada tidak jauh dari ruang tamu.
“Hei, adik kecil! Mari kesini!.” Ajak Firman kepada Raka. Tetapi bukannya Raka menghampiri Firman, tetapi dia menutup pintu kamarnya dengan keras.
“Raka, harus sopan dengan tamu!.” Bu Tina memarahi Raka dengan meneriakinya. “Maafkan Raka ya Nak Firman. Dia memang suka begitu dengan orang yang baru dilihatnya.”
“Oiya, tidak apa-apa Bu. Siapa Raka itu Bu?.”
“Dia anak Ibu satu-satunya. Umurnya 14 tahun.”
“Ibu sudah tidak tinggal di panti?.”
“Panti sudah lama di gusur. Semenjak itu, ibu tidak tinggal dan bekerja lagi di panti itu.”
“Pantas saja, beberapa tahun lalu saya ke panti tetapi bekas panti tersebut malah berubah menjadi pabrik industri. Lalu suami Ibu Tina kemana?.”
“Suami Ibu baru saja meninggal dua tahun yang lalu. Kamu dapat alamat rumah Ibu dari mana?.”
“Saya mencoba bertanya-tanya dengan orang-orang sekitar daerah bekas panti Bu. Dan Alhamdulillah, akhirnya bertemu juga dengan Ibu. Terus sekarang Ibu bekerja apa?.”
“Semenjak ayahnya Raka meninggal, ibu bekerja sebagai buruh cuci. Ibu membiayai Raka sekolah seorang diri. Syukur Alhamdulillah sampai sekarang Raka tidak putus sekolah. Sekarang sepertinya kamu sudah mapan?.”
“Alhadulillah Bu. Sekarang saya berwirausaha dan semua yang saya pakai ini termasuk mobil yang terparkir di halaman itu adalah hasil dari kerja keras saya sendiri. Dan kaki saya ini semakin kuat melangkah kemana pun saya pergi. Ini juga berkat bimbingan dan motivasi dari Ibu Tina. Saya sangat berterima kasih sekali dengan ibu. Karena hanya ibu yang menjadi motivator saya dalam meraih cita-cita saya yang dulu hampir punah. Sekarang saya sudah menjadi seorang yang sukses Bu. Dan kesuksesan saya ini akan sia-sia jika saya tidak berbalas budi ke ibu. Paling tidak saya dapat bertemu kembali dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada ibu.”
“Ibu hanya bisa mendoakanmu Nak. Ibu sudah menganggap kamu sebagai anak kandung ibu dari awal ibu menemukanmu waktu di panti. Ibu sangat bersyukur sekali ternyata seorang anak lelaki  yang dulu sangat manja kini sudah menjadi pemuda dewasa yang mandiri dan berhasil.” Ibu Tina kembali meneteskan airmatanya begitupula dengan Firman.
“Pasti kamu sangat lelah. Kamu istirahat dulu ya Nak!. Sini ibu tunjukkan kamarmu!.” Bu Tina menunjukkan kamar untuk Firman.
            Dewi malam kini telah datang mengiasi hitamnya langit. Di meja makan yang tidak cukup besar, terdapat Bu Tina dan Raka.
“Raka, cepat panggilkan Kak Firman!.”
“Enggak mau! Biar saja dia datang sendiri kemari.” Jawab Raka dengan ketus.
“Tidak boleh begitu dengan tamu. Kamu harus sopan dan menjaga omongan kamu itu.” Nasihat Bu Tina kepada Raka. “Nak Firman! Sini kita makan malam bersama!.” Kemudian Firman keluar dari dalam kamar dengan mengenakan baju koko dan sarung yang masih melekat pada tubuhnya sehabis salat maghrib.
“Wah, asiknya makan bersama dan kumpul dalam satu meja.” Ucap Firman.
“Maaf Firman, ibu hanya bisa menghidangkan makanan seadanya. Hanya telur mata sapi dan sayur bayam.”
“Ini juga sudah cukup Bu. Kalau saya lama disini, saya tidak akan kekurangan gizi Bu. Makanan disini menyehatkan. Hhahaha. Hey, jagoan! Kenapa kamu cemberut daritadi? Kamu mau nambah makannya?.” Tanya Firman kepada Raka dengan sedikit  candaan.
“Enggak!.” Jawab Raka yang kemudian mengambil tongkat kakinya dan pergi meninggalkan meja makan.
“Sekali lagi maafkan Raka ya Nak. Dia memang seperti itu. Semenjak kecelakaan waktu itu yang menyebabkan dia kehilangan ayah dan satu kakinya, sikapnya menjadi dingin seperti itu.”.
“Tidak apa-apa Bu. Melihat Raka saya seperti bercermin pada diri saya semasa kecil dulu.”
“Dia memang hampir sama denganmu yang dulu. Raka selalu menangis karena dia masih belum bisa menerima keadaannya sekarang ini. Ibu sangat sedih sekali melihat Raka yang seperti itu. Andai saja ibu bisa memberikan sebelah kaki ibu untuknya bahkan bukan hanya sebelah, jika bisa ibu gantikan kedua kakinya dengan kaki ibu, ibu akan memberikan kaki ini untuknya.”
“Sudah Bu, jangan menangis lagi. Firman tidak bisa melihat ibu yang Firman sayangi meneteskan airmatanya. Firman yakin, Raka akan menjadi anak yang baik nantinya. Kalau ibu mengizinkan, Firman akan menjaga Raka. Apakah boleh Bu?.”
“Boleh Nak. Ibu sangat berterima kasih sekali sama kamu. Kamu memang pemuda yang baik.”
“Kebaikan saya ini tidak sebanding dengan kebaikan yang telah ibu berikan kepada saya.”
            Keesokan harinya, di pagi hari yang cerah. Raka seperti biasa ingin berangkat ke sekolah.
“Jagoan, mau dianter ga ke sekolahnya?.” Tawar Firman kepada Raka.
“Gak perlu!.” Dengan ketusnya Raka menjawab.
“Yakin nih? Udah jam segini loh. Kalo kamu tetap berjalan kaki, nanti bisa terlambat.” Dengan agak ragu, akhirnya Raka masuk ke dalam mobil Firman.
“Tongkat mu bagus juga ya. Siapa yang membelikan?.”
“Perlu dijawab?.”
“Terserah kamu sih mau di jawab atau enggak. Tapi yang pasti pertanyaan saya ini enggak asal saja keluar dari mulut saya.”
“Kata ibu, tongkat ini milik seseorang yang sangat disayanginya selain ayah dan aku.” Cukup banyak pertanyaan yang diberikan Firman kepada Raka selama perjalanan menuju sekolah Raka. Walaupun pertanyaan dari Firman dijawab oleh Raka dengan ketus, tetapi bagi Firman itu adalah awal dari perkenalannya dengan Raka.
            Kini mengantar dan menjemput Raka sekolah sudah menjadi kebiasaan bagi Firman tiap harinya. Tetapi sifat Raka pada Firman masih belum berubah. Bahkan terkadang Raka masih suka susah menerima jika diantar- jemput oleh Firman. Hingga suatu hari pada saat siang menjelang sore hari, Firman mengajak Raka ke taman bermain sambil memakan es krim.
“Jagoan, jarang-jarang kan makan es krim bareng pemuda seperti saya yang mapan dan tampan?.” Canda Firman kepada Raka. Raka hanya melirik ke arah Firman tanpa berkata apa-apa.
            Pada saat di taman, Raka termenung melihat anak-anak yang sedang berlarian bersama teman-temannya yang berada tidak jauh dari hadapannya. Raka merasa iri dengan pemandangan itu.
“Hei, itu es krimnya mencair!.” Tegur Firman. Raka terkaget ketika Firman menegurnya dan buru-buru memakan kembali es krimnya yang sudah mencair hingga ke jemarinya. Firman terus memandangi Raka yang kembali termenung melihat anak-anak tersebut. Tiba-tiba Raka bertanya pada Firman.
“Kenapa kakak selalu memanggil saya dengan sebutan jagoan?.”
“Karena kamu adalah anak laki-laki yang kuat.”
“Kuat apanya? Kaki aja hanya punya sebelah.”
“Tanpa memiliki kedua kaki pun kita bisa disebut sebagai jagoan. Jangan mengartikan kata jagoan sebagai sesuatu yang kuat hanya dalam fisik aja. Terkadang seseorang yang kuat, tegar, sabar dalam menghadapi kehidupan juga bisa dikatakan sebagai jagoan. Saya tahu, bagimana perasaan kamu yang hanya memiliki satu kaki. Tetapi itu tidak bisa  menjadi alasan kita untuk menjadi seorang yang lemah dan bukan menjadi alasan kita untuk tidak bisa menjadi seperti seorang yang memiliki dua kaki. Apakah kamu tahu pada saat 24 tahun yang lalu?.”
“Ya enggak tahu lah. Umur saya aja baru 14 tahun.”
“24 tahun yang lalu ada seorang bayi yang ditemukan oleh seorang wanita di halaman depan panti asuhan. Bayi tersebut cacat karena tidak memiliki kaki. Bahkan dia tidak memiliki sepasang kaki. Tetapi wanita tersebut tetap mengasuh bayi tersebut seperti mengasuh anaknya sendiri. Seiring berjalannya waktu, bayi tersebut tumbuh dewasa menjadi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut mulai tidak menerima keadaannya karena dia berbeda dengan anak yang lainnya tidak memiliki kaki. Dia selalu menangis, marah, kesal karena tidak menerima keadaaan yang didapati oleh dirinya. Tetapi wanita pengasuhnya tetap bersabar mengasuh dirinya bahkan wanita tersebut selalu memberikan motivasi kepada anak itu. Karena hanya wanita itulah yang menjadi motivator bagi anak laki-laki tersebut. Di dunia ini yang dia miliki hanya wanita pengasuh tersebut. Sulit sekali bagi dirinya untuk menerima keadaan. Dia tidak bisa bermain bola bersama teman-temannya, dia tidak bisa berjalan menggunakan kakinya ketika ingin berangkat sekolah, dia tidak bisa …” pembicaraan Firman diputus oleh pernyataan dari Raka.
“Tetapi keadaannya berbeda dengan saya. Dia sudah cacat sejak lahir sedangkan saya dulu bisa bermain bola sesuka saya, saya bisa berlari kesana kemari tetapi sekarang karena kecacatan ini saya jadi tidak bisa melakukan itu semua lagi.”
“Justru karena itu seharusnya kamu bisa lebih bersyukur. Anak itu tidak bisa merasakan memiliki kaki pada satu kesempatanpun sejak dia lahir. Tetapi kamu masih diberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya bermain bola, bagaimana rasanya berlari. Kamu harus mensyukuri itu semua. Dan yang terpenting adalah kamu memiliki seorang ibu yang menyayangi kamu dan mencintai kamu, sedangkan anak itu tidak merasakan kasih sayang dan cinta seorang ibu kandungnya sejak dia masih bayi. Tetapi wanita pengasuhnyalah yang memeberikan kekuatan kepadanya. Cerita anak tersebut bukan hanya sampai disitu. Pada saat dia berumur kira-kira 12 tahun, dia membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Bayangkan saja, selama 12 tahun dia berjalan tidak menggunakan alat bantu apapun. Tetapi wanita pengasuhnya tidak sanggup untuk membelikan kursi roda ataupun tongkat sebagai alat bantunya. Dan kamu tahu dia berjalan menggunakan apa, jagoan?.” Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Dia  berjalan dengan menyeretkan badannya ke lantai. Jika dia ingin ke sekolah, dia selalu digendong oleh wanita pengasuhnya. Wanita pengasuhnya pernah bilang, ‘Kedua kaki ibu adalah alat bantu untuk kamu berjalan’.” Saat mengatakan kalimat itu Firman meneteskan air matanya.
“Lalu apakah anak itu sekarang masih tidak bisa berjalan?”.
“Saat berumur 16 tahun, wanita pengasuhnya tidak sanggup untuk menggendong anak laki-laki tersebut karena selain umurnya yang sudah bertambah tua, tubuh anak kecil tersebut sudah bertambah besar dan wanita tersebut berfikir sepertinya anak itu memang sudah saatnya sangat  membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Tetapi, dalam ekonomi wanita tersebut sangat sulit. Orang-orang dalam panti itu pun sedang dalam masa kritis ekonomi. Tetapi Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang kepada umatnya. Pada waktu itu ada seorang pasangan suami-istri yang datang ke panti untuk menjadi donator tetap panti tersebut. Dan pada saat itu dia melihat kondisi anak laki-laki tersebut yang tidak bisa berjalan dan sangat membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Keesokan harinya, pasangan suami-istri tersebut mengantarkan sepasang tongkat sebagai alat bantu berjalan bagi anak laki-laki tersebut. Betapa gembiranya wanita pengasuh dan anak itu. Belum selesai sampai disini, pada saat dia berumur 17 tahun, dia merasa tertarik dengan seorang perempuan cantik dan anggun yang ternyata adalah anak dari pasangan suami-istri donator tetap tersebut. Tetapi anak itu merasa tidak pantas untuk mendapatkan perempuan itu dan keberaniannya untuk mendapatkan perempuan itu perlahan-lahan sirna. Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya kembali, anak perempuan itu justru semakin dekat dengan anak laki-laki tersebut yang sudah tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda. Umur 23 tahun pemuda itu menikahi perempuan tersebut. Pada saat itu, dia harus meninggalkan wanita pengasuhnya karena dia sudah memiliki seorang istri. Kedua kaki pemuda itu diganti dengan kaki palsu dengan biaya dari orang tua istrinya tersebut. Akhirnya dengan membawa sebelah tongkatnya, dia pergi meninggalkan panti dan wanita pengasuhnya itu. Walaupun demikian, rasa cinta antara pemuda dan wanita pengasuh itu masih terjalin dengan kuat. Kamu bisa juga seperti dia yang memiliki semangat untuk tetap bertahan menghadapi hidup walaupun cacat.”
“Kakak bisa berkata seperti itu karena tidak merasakan apa yang saya rasakan. Kakak tidak merasakan memiliki kecacatan yang saya alami ini. Begitu mudahnya kakak berkata seperti itu. Kakak pemuda yang tampan dan sempurna, sedangkan saya tidak mungkin nanti bisa menjadi seperti kakak yang sempurna yang dapat berjalan dengan sesukanya.” Raka mulai menangis dan marah kepada Firman.
“Ayo, masuk ke mobil! Ada yang ingin kakak tunjukkan kepada kamu.” Mereka masuk ke mobil dan Firman menunjukkan sebelah tongkat yang dimilikinya kepada Raka.
“Itu adalah tongkat sebagai alat bantu berjalan kakak dulu. Anak laki-laki yang cacat itu adalah kakak. Dan apakah kamu tahu? Wanita pengasuh itu adalah ibumu.” Raka sangat terkejut mendengar perkataan Firman itu.
“Jadi kamu salah jika mengatakan bahwa kakak tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Kakak merasakan itu semua dan bahkan lebih pahit dari yang kamu alami.” Sepanjang jalan pulang ke rumah, Raka menangis tiada henti sambil menatap sebelah tongkat yang ada di tangannya. Sesampainya di rumah, Raka keluar mobil dan langsung berjalan terburu-buru dengan tongkatnya menghampiri ibunya.
“Ibu, Raka sayang sama ibu. Maafin Raka ya Bu.” Sambil memeluk ibunya dengan erat.
“Iya Nak, ibu juga sayang dengan Raka.” Ibunya terkejut dan heran dengan apa yang telah terjadi. Sedangkan Firman hanya tersenyum melihat suasana haru itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar